TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR DI UTAMA

05:18 at 05:18

BAB I

Pendahuluan




I.1. Latar Belakang Penelitian

Perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat dan bersifat sangat tidak pasti mengharuskan organisasi-organisasi yang ada dalam suatu sektor industri untuk senantiasa berusaha meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas (Bogler and Somech, 2005; Sweeland and Hoy, 2000). Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas ini sangat bergantung pada kesediaan para karyawan untuk berkontribusi secara positif dalam menyikapi perubahan (Bogler and Somech, 2005). Perilaku untuk bersedia memberikan kontribusi positif pekerja ini diharapkan tidak hanya terbatas dalam kewajiban kerja secara formal, melainkan idealnya lebih dari kewajiban formalnya (Bowler, 2006). Dalam literature organisasi modern, perilaku dalam bentuk kerelaan untuk memberikan kontribusi yang lebih dari kewajiban formal bukanlah merupakan bentuk perilaku organisasi yang dapat dimunculkan melalui basis kewajiban-kewajiban peran formal karyawan (VanYperen, Berg, and Willering, 1999). Bateman and Organ (1983) menyebut perilaku ini sebagai organizational citizenship behaviors atau disingkat OCB.
Para pakar organisasi menyatakan pentingnya OCB bagi keberhasilan sebuah organisasi, karena pada dasarnya organisasi tidak dapat mengantisipasi seluruh perilaku dalam organisasi hanya dengan mengandalkan deskripsi kerja yang dinyatakan secara formal saja (George, 1996). Dengan demikian, pentingnya OCB secara praktis adalah pada kemampuannya untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kreatifitas organisasi melalui kontribusinya dalam transformasi sumber daya, inovasi, dan adaptabilitas (Organ, 1988; Podssakoff, MacKenzie; Paine, and Bacharach, 2000; Williams and Anderson, 1991).
Beberapa penelitian dalam bidang organisasi menemukan bahwa salah satu faktor terpenting dalam membentuk organizational citizenship behavior adalah kepemimpinan dalam organisasi (Netemeyer, Boles, McKee, and McMurrian, 1997; MacKenzie, Podssakoff, and Ahearne, 1998; Bettencourt, Meuler, and Gwinner, 2001; Pawar, 2003; Chen, 2004; MacKenzie, Podssakoff, and Rich, 2001; Benjamin and Flyinn, 2006). Leadership merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang atau kelompok orang kearah pencapaian suatu tujuan, dan dalam dunia yang sangat dinamis seperti saat ini, organisasi memerlukan pimpinan-pimpinan yang mampu menantang status quo, untuk menciptakan visi-visi masa depan dan menginspirasi para anggota organisasi untuk memiliki keinginan mencapai visi-visi tersebut (Robbins, 2001; Appelbaum et al., 2004). Mungkin tidak seorangpun dapat membantah pentingnya leadership bagi keberhasilan suatu organisasi. Kemampuan pimpinan organisasi merupakan faktor utama dalam membangun etos kerja dalam organisasi (Bass & Avolio, 1994). Motivasi kerja orang dalam organisasi sangat ditentukan oleh iklim dan lingkungan yang tercipta dalam organisasi itu sendiri. Iklim dan lingkungan dalam organisasi akan menentukan apakah seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan atau tidak (Bersona & Avolio, 2004). Jika iklim dan lingkungan organisasi dipersepsikan positif dan kepentingan serta minat orang dapat terakomodasi, orang mungkin akan bersedia secara sukarela melaksanakan pekerjaannya dalam organisasi melebihi apa yang diharapkan dapat dia laksanakan (Organ, 1988). OCB merupakan perilaku yang pekerja yang sangat positif, yang bersifat informal, yang dilakukan secara sadar untuk berkontribusi lebih terhadap organisasi (Bateman & Organ, 1983).
Penurunan jumlah calon mahasiswa baru yang secara nasional mencapai 40% hingga tahun 2005 (Sutoko, 2005) berakibat pada meningkatnya persaingan antar perguruan tinggi dalam menjaring mahasiswa baru. Bagi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta (PTS), yang sumber pendanaannya terutama berasal dari mahasiswa hal ini tentu dirasakan sangat memberatkan. Dengan demikian kemampuan PTS menjaring mahasiswa baru akan sangat menentukan kelangsungan PTS itu sendiri dimasa yang akan datang. Hal ini juga dirasakan oleh Universitas Widyatama (UTAMA) yang selama beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan jumlah peminat untuk mengikuti ujian saringan masuk. Penelitian niat siswa SMU di kota Bandung yang dilakukan oleh Zulganef & Lasmanah (2004) menemukan bahwa minat siswa SMU untuk memasuki UTAMA belum muncul.
Meningkatnya persaingan antar PTS untuk mendapatkan mahasisawa baru yang memenuhi kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh masing-masing PTS tentunya menuntut UTAM untuk mampu merancang dan mengimplementasikan strateji-strateji baru yang adaftif dengan perubahan yang sedang tejadi. Strateji-strateji baru yang dirancang dan diimplementasikan ini pada dasarnya akan sangat tergantung pada sejauh mana strateji-strateji tersebut mampu mendiferensiasikan UTAMA dari pesaing-pesaing UTAMA. Kemampuan UTAMA dalam perancangan dan implementasi strateji-strateji adaptif ini sangat tergantung pada keterlibatan semua orang dalam organisasi UTAMA.
Hasil penelitian Brahmana & Sofyandi (2006) menemukan bahwa orientasi belajar di lingkungan dosen dan karyawan sangat lemah, dan temuan penelitian ini juga menemukan bahwa performa dosen dan karyawan juga kurang baik. Lemahnya orientasi untuk belajar akan dapat menghambat UTAMA berorientasi pada lingkungan yang selalu berubah. Salah satu faktor yang mempengaruhi orientasi belajar orang-orang dalam organisasi adalah kepemimpinan (Brahmana & Sofyandi, 2006).
Pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahan melalui gaya atau pendekatan yang digunakan untuk mengelola orang (Benyamin and Flyinn, 2006). Dalam masa dua dekade terakhir ini, ada dua gaya kepemimpinan yang menjadi perhatian utama para pakar organisasi, yaitu: transactional dan transformational leadership (Benjamin and Flyinn, 2006). Transactional leadership merupakan suatu dinamika pertukaran antara pimpinan dan bawahan, dalam mana pimpinan menetapkan sasaran-sasaran khusus, memonitor perkembangan, dan mengidentifikasi rewards yang dapat diharapkan oleh bawahan bilamana sasaran dapat dicapai (Bass, 1999; Burns, 1978). Transformational leadership menyangkut bagaimana mendorong orang lain untuk berkembang dan menghasilkan performa melebihi standar yang diharapkan (Bass, 1999). Pimpinan yang memiliki gaya transformasional mampu menginspirasi orang lain untuk melihat masa depan dengan optimis, memproyeksikan visi yang ideal, dan mampu mengkomunikasikan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Benjamin and Flyinn, 2006). Menurut Benjamin & Flyinn (2006) dan Judge & Piccolo (2004) transformational leadership lebih efektif dibanding transactional leadership.
Para pakar transformational leadership (Bass, 1985; Bass & Avolio, 1994; Burns, 1978) berargumen bahwa kepemimpinan transformasional lebih proaktif dan lebih efektif dibanding kepemimpinan transaksional dalam hal memotivasi bawahan untuk mencapai performa yang lebih baik. Argumen ini banyak didukung oleh sejumlah temuan-temuan penelitian seperti Dumdum, Lowe & Avolio (2002), Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam (1996). Para pimpinan transformasional lebih mampu dan lebih sensitif merasakan lingkungannya, dan untuk selanjutnya membentuk dan mendiseminasi sasaran-sasaran stratejis yang mampu menangkap perhatian serta minat para bawahannya (Bersona & Avolio, 2004). Para pengikut pimpinan transformasional memperlihatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap misi organisasi, kesediaan untuk bekerja lebih keras, kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pimpinan, dan tingkat kohesi yang lebih tinggi (Avolio, 1999). Seluruh efek kepemimpinan transformasional diharapkan akan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pemahaman serta diseminasi visi stratejis, misi, dan sasaran-sasaran, serta tingkat penerimaan bawahan yang lebih baik (Bersona & Avolio, 2004).
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat persepsi dosen dan karyawan administrasi di lingkungan UTAMA atas gaya kepemimpinan dan organizational citizenship behavior dosen dan karyawan administrasi UTAMA, yang ditujukan untuk mencoba menjelaskan variasi performa dosen dan karyawan administrasi dilihat dari organizational citizenship behavior, dengan transformational leadership sebagai prediktor.



I.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah utama penelitian ini adalah mengenai persepsi dosen dan karyawan administrasi UTAMA atas leadership dan organizational citizenship behavior di UTAMA, dan hubungan antar keduanya. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah gaya kepemimpinan di UTAMA cenderung transformasional atau transaksional.
b. Bagaimana organizational citizenship behaviour dosen dan karyawan administrasi UTAMA.
c. Bagaimana hubungan antara transformational leadership di UTAMA dengan organizational citizenship behaviour dosen dan karyawan administrasi.






I.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini ditujukan untuk mengukur kecenderungan transformational leadership dan ada tidaknya organizational citizenship behavior di UTAMA, dan melihat hubungan keduanya untuk melihat apakah hal tersebut dapat menjelaskan kondisi UTAMA saat ini.



I.4. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada:
1. teoritis, berupa peningkatan pemahaman empiris atas transformational leadership dan organizational citizenship behavior;
2. praktis, memahami transformational leadership dan organizational citizenship behavior sebagai faktor yang dapat menentukan kretaifitas, kinerja individu yang pada akhirnya akan sangat menentukan kinerja organisasi secara keseluruhan.
3. praktis, pemahaman serta guideline bagi para pengambil keputusan stratejik dalam usaha perancangan dan implementasi strateji-strateji yang ditujukan bagi peningkatan kinerja orang-orang dalam organisasi.





I.5. Rerangka Pemikiran

Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas dalam suatu organisasi sangat bergantung pada kesediaan orang-orang dalam organisasi untuk berkontribusi secara positif dalam menyikapi perubahan (Bogler and Somech, 2005). Perilaku untuk bersedia memberikan kontribusi positif ini diharapkan tidak hanya terbatas dalam kewajiban kerja secara formal, melainkan idealnya lebih dari kewajiban formalnya (Bowler, 2006). Dalam literature organisasi modern, perilaku dalam bentuk kerelaan untuk memberikan kontribusi yang lebih dari kewajiban formal bukanlah merupakan bentuk perilaku organisasi yang dapat dimunculkan melalui basis kewajiban-kewajiban peran formal karyawan (VanYperen, Berg, and Willering, 1999). Bateman and Organ (1983) menyebut perilaku ini sebagai organizational citizenship behaviors atau disingkat OCB.
Para pakar organisasi menyatakan pentingnya OCB bagi keberhasilan sebuah organisasi, karena pada dasarnya organisasi tidak dapat mengantisipasi seluruh perilaku dalam organisasi hanya dengan mengandalkan deskripsi kerja yang dinyatakan secara formal saja (George, 1996). Dengan demikian, pentingnya OCB secara praktis adalah pada kemampuannya untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kreatifitas organisasi melalui kontribusinya dalam transformasi sumber daya, inovasi, dan adaptabilitas (Organ, 1988; Podssakoff, MacKenzie; Paine, and Bacharach, 2000; Williams and Anderson, 1991).
OCB telah menarik cukup banyak perhatian dalam studi-studi bisnis dan organisasi untuk beberapa alasan (Tepper and Taylor, 2003; Turnipseed and Murkison, 2000). OCB mampu meningkatkan keberhasilan organisasi melalui kemampuan organisasi mengalokasikan sumber dayanya secara lebih efektif (Organ, 1988; VanYperen et al., 1999). OCB melengkapi organisasi dengan tambahan kemampuan dan mengurangi mekanisme formal yang mahal dalam proses restrukturisasi organisasi (George, 1996; Organ and Konovsky, 1989).
Katz (1964) mengidentifikasi tiga tipe perilaku pekerja yang sangat penting bagi efektivitas total dari suatu sistem organisasi, yaitu:
1. orang dibujuk untuk masuk dan tetap berada dalam system;
2. orang harus mau melakukan peran tanggung jawabnya dengan baik;
3. harus ada aktivitas inovatif dan spontan dalam usaha mencapai tujuan organisasi di luar batas-batas spesifikasi peran formal.

Ketiga hal tersebut sangat penting, tetapi yang terpenting adalah perilaku yang ketiga (Bolon, 1997). Sayangnya, masih belum cukup banyak usaha yang dilakukan organisasi untuk menggali perilaku tersebut. Bolon (1997) mengatakan bahwa perilaku ini sangat vital bagi keberlangsungan dan efektivitas organisasi. Organisasi yang hanya mengandalkan dua perilaku pertama akan menjadi organisasi yang memiliki sistem sosial yang sangat rentan. Beberapa contoh pentingnya OCB dalam suatu organisasi menurut Bolon (1997) antara lain adalah:
1. munculnya tindakan-tindakan yang ditujukan untuk melindungi organisasi beserta asetnya;
2. munculnya saran-saran konstruktif yang ditujukan untuk perbaikan organisasi;
3. munculnya kesediaan untuk melakukan pelatihan-pelatihan pribadi yang bersifat informal yang akan meningkatkan tambahan tanggung jawab;
4. terciptanya iklim yang baik dalam organisasi dan dengan lingkungan sekitar organisasi;
5. munculnya aktivitas-aktivitas gotong-royong.

Para pakar telah meneliti OCB dengan asumsi bahwa OCB akan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan serta efektivitas organisasi (Bowler, 2006).
Para pakar organisasi serta para praktisi sangat memahami pentingnya faktor-faktor penentu yang dapat memunculkan OCB dalam organisasi. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa salah satu anteseden penting bagi terciptanya OCB adalah transformational leadership (Netemeyer, Boles, McKee, and McMurrian, 1997; MacKenzie, Podssakoff, and Ahearne, 1998; Bettencourt, Meuler, and Gwinner, 2001; Pawar, 2003; Chen, 2004; MacKenzie, Podssakoff, and Rich, 2001; Benjamin and Flyinn, 2006).
Leadership merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang atau kelompok orang kearah pencapaian suatu tujuan, dan dalam dunia yang sangat dinamis seperti saat ini, organisasi memerlukan pimpinan-pimpinan yang mampu menantang status quo, untuk menciptakan visi-visi masa depan dan menginspirasi para anggota organisasi untuk memiliki keinginan mencapai visi-visi tersebut (Robbins, 2001; Appelbaum et al., 2004). Mungkin tidak seorangpun dapat membantah pentingnya leadership bagi keberhasilan suatu organisasi.
Pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahan melalui gaya atau pendekatan yang digunakan untuk mengelola orang (Benyamin and Flyinn, 2006). Dalam masa dua dekade terakhir ini, ada dua gaya kepemimpinan yang menjadi perhatian utama para pakar organisasi, yaitu: transactional dan transformational leadership (Benjamin and Flyinn, 2006). Transactional leadership merupakan suatu dinamika pertukaran antara pimpinan dan bawahan, dalam mana pimpinan menetapkan sasaran-sasaran khusus, memonitor perkembangan, dan mengidentifikasi rewards yang dapat diharapkan oleh bawahan bilamana sasaran dapat dicapai (Bass, 1999; Burns, 1978). Transformational leadership menyangkut bagaimana mendorong orang lain untuk berkembang dan menghasilkan performa melebihi standar yang diharapkan (Bass, 1999). Pimpinan yang memiliki gaya transformasional mampu menginspirasi orang lain untuk melihat masa depan dengan optimis, memproyeksikan visi yang ideal, dan mampu mengkomunikasikan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Benjamin and Flyinn, 2006). Menurut Benjamin & Flyinn (2006) dan Judge & Piccolo (2004) transformational leadership lebih efektif dibanding transactional leadership.
Dari uraian di atas, maka hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Transformational Leadership memiliki hubungan yang positif dengan OCB dosen dan karyawan administrasi UTAMA.

I.6. Desain Dan Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian explanatory yang dilakukan dengan pendekatan kasus, yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan transformational leadership dengan organizational citizenship behavior yang didasarkan pada persepsi dosen dan karyawan adaministrasi di lingkungan Universitas Widyatama. Adapun data yang diperlukan untuk menjelaskan hubungan yang dimaksud akan diperoleh melalui penyebaran kuesioner.
Populasi penelitian ini adalah seluruh dosen tetap serta seluruh karyawan administrasi yang ada dilingkungan Universitas Widyatama. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Seluruh anggota populasi akan diambil sebagai responden (sensus), dan besarnya sample adalah sebesar jumlah kuesioner yang diisi, kembali, dan layak untuk diolah.
Kuesioner sebagai alat untuk menjaring data terdiri dari serangkaian pertanyaan yang merepresentasikan indikator-indikator dari tiap dimensi variabel. Kuesioner dirancang dengan menggunakan Seven Point Likert Scale. Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan alat analisis antara lain: validity and reliability test, factor analysis, uji asumsi klasik, dan OLS regression.

0 comments: